Header Ads

Vaporizer, Amankah Untuk Kesehatan ?

Vaporizer, Amankah Untuk Kesehatan ?
Banyak cara dilakukan orang untuk dapat berhenti merokok. Salah satu alternatif yang sempat mengemuka adalah rokok elektronik.

Apa Itu Rokok Elektronik?
Rokok elektronik, atau electronic cigarette, dikenal juga dengan sebutan electronic nicotine delivery system (ENDS). Rokok ini menggunakan baterei lithium yang memanaskan larutan, yang kemudian menghasilkan uap yang menyerupai asap rokok. Uap ini dihisap masuk ke dalam paru-paru, dan dihembuskan kembali keluar, persis seperti lazimnya dilakukan perokok “asli”. Larutan yang digunakan mengandung propilen glikol, gliserin, perasa buatan, dan nikotin. Kandungan nikotin dalam rokok elektronik bertujuan untuk “mengobati” kecanduan para perokok.

Sejarah rokok elektronik
Rokok elektronik pertama kali dibuat di Beijing, Tiongkok tahun 2003, dan diperkenalkan di Amerika pada tahun 2007. Penyebaran penggunaan rokok elektronik terbilang cepat. Salah satu pabrik yang didirikan tahun 2009 di Senzhen, Tiongkok, saat ini telah mencapai omset penjualan lebih dari 1.5 milyar dolar per tahun, dengan 5 juta pelanggan di seluruh dunia. 10 tahun lagi diprediksi angka penjualan rokok elektronik akan melebihi angka penjualan rokok tradisional (sumber: Bloomberg Business Week).
Penjualan di Amerika diprediksi akan semakin meningkat karena mulai 23 Juni 2014 perusahaan R.J Reynolds memulai kampanye nasional untuk rokok elektronik buatan Amerika yang pertama (sumber: Medscape).
Di Indonesia rokok elektronik masuk tahun 2010, tapi tidak secara legal melalui Badan POM (sumber: kompas.com). Walaupun belum mendapat ijin resmi, rokok elektronik dapat dengan mudah dibeli di Indonesia secara online.

Rokok elektronik: “Lebih sehat, lebih bersih, lebih murah?”
Motto pemasaran rokok elektronik adalah: “Lebih sehat, lebih bersih dan lebih murah”. Produsen rokok elektronik menyatakan bahwa rokok elektronik lebih sehat dan bersih karena yang dihasilkan bukan asap melainkan uap. Berbeda dengan asap rokok yang mengandung ribuan bahan kimia, dengan puluhan diantaranya merupakan zat yang karsinogenik (menyebabkan kanker), uap rokok elektronik tidak mengandung bahan-bahan berbahaya tersebut. Rokok elektronik juga diklaim lebih murah, karena dua hal; yang pertama karena bisa diisi ulang (refill), dan kedua karena rokok elektronik tidak kena pajak.
Tetapi, benarkah rokok elektronik lebih sehat? Ternyata tidak sepenuhnya benar. Larutan yang mengandung nikotin tidak sepenuhnya aman. Beberapa laporan menyatakan bahwa larutan nikotin justru jauh lebih berbahaya dari daun tembakau yang dibakar. Satu sendok larutan nikotin sudah cukup untuk mematikan seorang dewasa. Beberapa laporan juga menunjukkan bahwa sebagian rokok elektronik juga melepaskan logam saat digunakan (sumber: howstuffworks.com).

Rokok elektronik: Alternatif terbaik untuk berhenti merokok?
Pengguna rokok elektronik terus bertambah. Ada dua hal yang membuat rokok elektronik menjadi pilihan menarik untuk berhenti merokok. Yang pertama karena kandungan nikotinnya yang dapat “meredakan” kecanduan para perokok. Yang kedua karena “kebiasaan merokok” mereka dapat diteruskan. Banyak pasien yang sulit melepaskan diri dari rokok karena tangan dan mulutnya “gatal” bila tidak merokok. Dengan rokok elektronik, mereka dapat melanjutkan “kebiasaan merokoknya” dengan resiko yang lebih rendah.
Di Amerika sekitar separuh perokok yang ingin berhenti telah mencoba rokok elektronik. Tetapi tidak ada data yang pasti mengenai efektivitasnya dalam menghentikan kebiasaan merokok. Dalam satu hisapan rokok elektronik, kandungan nikotinnya hanya 20% rokok asli. Memang lebih aman, tapi rasanya tidak “senikmat” rokok asli. Ini membuat banyak pecandu rokok yang akhirnya kembali ke rokok asli. Masalah lain yang timbul adalah, alih-alih berhenti merokok, rokok elektronik menimbulkan sebuah kebiasaan baru, termasuk bagi mereka yang sebelumnya tidak merokok, yaitu “meng-uap” (vape). Dr. Bilazarian, seorang dokter jantung di Massachussets, Amerika, bahkan menganjurkan untuk tidak hanya bertanya, “Do you smoke?” kepada pasien, tapi juga, “Do you vape?” (sumber: Medscape)
Karena belum adanya kepastian mengenai manfaat dan resiko, sampai saat ini belum ada rekomendasi untuk penggunaan rokok elektronik sebagai terapi substitusi berhenti merokok. Di Indonesia sendiri sampai saat ini rokok elektronik belum mengantongi ijin resmi dari badan POM. Demikian juga dengan FDA (Food and Drug Administration), badan POM Amerika. Parlemen Eropa bahkan telah menolak rokok elektronik sebagai suatu alat medis. New York dan Chicago malah memberlakukan larangan merokok elektronik di tempat umum (sumber: Bloomberg Business Week - Pulsa).

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.